SUMBER HUKUM ISLAM

Bab I

PENDAHULUAN

1. Latar belakang.

Pada dasarnya yang menjadi sumber norma dan hokum islam adalah kitab suci Alqur’an dan sunah Rasulullah saw. Keduanya merupakan sumber  pokok atau sumber utama. Akan tetapi kalau di rinci, sebetulnya selain dua sumber tersebut, masih ada sumber lain yang berkedudukan sebagai sumber perlengkap atau tambahan-tambahan atau penjelasan, yang disebut “Ijtihad” ini bentuk bermacam-macam, seperti Ijma’ ra’yu, Qiyas, istihsan mashallah mursalah, istihab, dan saddu-dzair’ah.

 Al-Qur’an berasal dari kata Qara’a yang berarti bacaan atau sesuatu yang di baca. Secara istilah Al-Qur’an adalah kalamullah kepada nabi Muhammad SAW. Melalui perantaraan malaikat jibril untuk disampaikan kepada umatnya. Al-Qur’an terdirfi dari 6666 ayat dan 144 surat yang di turunkan secara berngsur-angsur selama 22 tahun 2 bulan 22 hari kepada nabi Muhammad. Permulaan turunnya Al-Qur’an adalah pada tanggal 17 ramadhan tahun 611 M. Al-qur’an dimulai dengansuratAl-fatihah dan di sudahi dengansuratAn-Nas.

Nama yang sangat umum di kenal umat islam adalah Al-Qur’an. Nama demikian sesuai dengan sifatnya bahwa umat islam selalu membacanya, baik di mengerti maknanya maupun tidak. Selain itu Al-Qur’an juga memiliki nama lain, seprti, Al-kitab, Al-Furqan, Al-Zikri, Ar-Ruh.

2. Rumusan Masalah

    – apa saja yang menjadi sumber hukum islam…..?

    – apa yang di maksud dengan

      Al-Qur’an, Ijma, ra’yu, Qiyas, sunnah……………..?

3. Tujuan penulisan

    – untuk mengetahui apa-apa saja yang menjadi sumber hukum islam

    – memaparkan atau menjelaskan tentang Al-Qur’an, Ijma, ra’yu, Qiyas, sunnah.

Bab II

PEMBAHASAN

SUMBER- SUMBER HUKUM ISLAM

A. Pengertian sumber dan dalil

Sumber adalah suatu wadah yang dari wadah itu dapat di temukan atau ditambah norma hokum. Sedangkan “dalil hukum” berarti suatu yang memberi petunjuk dan menuntun kita dalam menemukan hokum Allah.

Kata “sumber” dalam  artian ini hanya dapat digunakan untuk Al-Qur’an dan sunnah. Karena memang keduanya merupakan wadah yang dapat di tambah hokum sya’ra tetapi tidak mungkin kata ini di gunakan untuk ijma dan qiyas karena keduanya bukanlah wadah yang dapat ditambah norma hokum.

B. Al-Qur’an sebagai sumber dan dalil

            Secara etimologis Al-Qur’an adalah bentuk mashdar dari kata qa-ra’a dan sewazan dengan kata fu’lan artinya : bacaan ; berbicara tentang apa yang tertulis padanya ; atau melihat dan menelaah. Dalam pengertian ini berarti isim maf’ul hal ini ssesuai dengan firman Allah dalamsurat al-Qiyamah (75) : 17-18 :

            “sesungguhnya Al-Qur’an itu memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus”…

            Kata Al-Qur’an di gunakan dalam arti sebagai nama kitab suci yang di turunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Bila di lafazkan dengan menggunakan alif-lam berarti untuk keseluruhan apa yang di maksud dengan qur’an.

 Arti Al-Qur’an secara terminologis di temukan dalam beberapa rumusan definisi sebagai berikut :

1. menurut Syaltut, Al-Qur’an adalah : “lafaz arabiayang             diturunkan kepada nabi Muhammad SAW, dinukilkan kepada kita secara mutawatir.

2. Al-syaukani mengartikan al-Qur’an dengan : “kalam Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW, tertulis dalam mashhaf, di nukilkan secara mutawatir.

3.  definisi Al-Qur’an yang dikemukakan abu Zahra ialah : kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad.

Dengan mengganalisis unsur-unsur dari setiap definisi di atas dan membandingkan antara satu dan lainnya, dapat di tarik suatu rumusan mengenai definisi al-qur’an, yaitu: ‘lafatz berbahasa arab yang diturunkan kapada Nabi Muhammad SAW. Yang di nikilkan secara mutawatir’

C. Sunnah sebagai sumber dan dalil

            secara etimologis kata “sunnah” berarti cara yang biasa di lakukan, apakah itu cara sesuatu yang baik, atau buruk.Para ulama islam mengutip kata sunnah dari al-qur’an dan bahasa arab yang mereka gunakan dalam artian khusus yaitu : “cara yang biasa di lakukan dalam pengamalan agama”. Kata sunnah dalam periode awal islam dikenal dalam artian sepeti ini.

            Kata sunnah sering disebutkan seiring dengn kata “kitab”. Di kala kata sunnah dirangkaikan dengan kata “kitab”,maka sunnah berarti “ cara beramal dalam agama berdasarkan apa yang di nukilkan dari Nabi Muhammad SAW”, atau “ suatu amalia agama yang telah di kenal oleh semua orang”. Kata sunnah dalam artian ini adalah lawan dari kata “bid’ah” yaitu amalia yang di adakan dalam urusan agama yang belum pernah di lakukan oleh nabi.

            Sunnah dalam istilah ulama ushul adalah : “apa-apa yang diriwayatkan dari nabi Muhammad SAW, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun pengakuan dari sifat nabi. Sedangkan sunnah dalam istilah ulama fiqh adalah : “sifat hokum bagi suatu perbuatan yang di tuntut melakukannya dalam bentuk tuntutan yang tidak pasti” dengan pengertian di beri pahala orang yang melakukannya dan tidak berdosa orang yang tidak melakukannya.

            Sunnah mempunyai fungsi untuk menguatkan dan menegaskan  hokum-hukum yang tersebut dalam Al-Qur’an atau di sebut fungsi tak’id dan faqrir.  Dalam bentuk ini sunnah hanya seperti mengulangi apa-apa yang tersebut dalam Al-Qur’an.

            Sunnah juga memberikan penjelasan terhadap apa-apa yang dimaksud dalam Al-Qur’an

  1. menjelaskan arti yang masih samara dalam Al-Qur’an
  2. merinci apa-apa yang ada dalam Al-Qur’an di sebutkan secara garis besar
  3. membatasi apa-apa yang ada dalam Al-Qur’an secara umum.
  4. Memperluas maksud dari suatu yang tersebut dalam Al-Qur’an.

D. Ra’yu (Nalar) sebagai dalil hokum

            Pada prinsipnya penalaran di pergunakan dalam menetapkan hokum terhadap suatu kejadian bila tidak terdapat aturan-aturan secara harfiah. Begi pula dalam keadaan-keadan tertentu, ra’yu (nalar) pun dapat di gunakan terhadap hal-hal yang sudah ada nash tetapi dalam pengaturannya di kemukakan secara pasti. Dengan demikian, ra’yu itu dapat di gunakan dalam dua hal, yaitu a :

  1. dalam hal-hal yang tidak ada hukumnya sama sekali. Dalam   hal ini mujhahid menemukan hokum secara murni dan tidak akan berbenturan dengan ketentuan nash yang sudah ada karena memang belum ada nashnya. Mungkin hasil penemuan mujhahid itu berbeda dengan yang lebih dulu menemukannya. Tetapi hal yang demikian itu tidak ada halangannya karena masing-masing mempunyai kekuatan yang sama dan karenanya dapat berdiri sendiri-sendiri. Di sinilah timbul perbedaan pendapat di kalangan ulama yang tidak akan mungkin di persatukan.

Dalam hal-hal yang tidak ada hukumnya, tetapi dapat di kaitkan hukumnya kepada lafaz yang ada dalam nash atau yang dinamakan hokum yang tersirat, penggunaan ra’yu dapat juga berlaku sebagaimana yang berlaku pada bentuk pertama di atas. Apapun hasil ra’yu yang ditemukan oleh mujtahid tidak akan bernenturan dengan harfiah hokum dalam nash, selama tetap menjaga ketentuan-ketentuan dalam perentangan hokum nash.Perbenturan dengan hasil penemuan mujtahid terdahulu tidaklah merupakan suatu halangan.

  1. Dahulu hal-hal yang sudah diatur dalam nash tetapi penunjukannya terhadap hukum tidak secara pasti. Nash hokum dalam bentuk ini memberikan kemungkinan-kemungkinan pemahaman. Jika terdapat kemungkinan pemahaman, maka di sini terdapat lapangan bagi ra’yu. Kalau begitu apalagi yang akan ditetapkan oleh ra’yu terhadap yang sudah diatur secara harfiah itu? Peranan ra’yu dalam hal ini adalah menemukan alternative-alternatif. Pendapat yang muncul dalam bentuk ini tidak akan berbenturan dengan dalil karena dalil tidak memberikan petunjuk yang pasti.

                        Ulama di masa sekarang, mencoba memikirkan poligami itu dengan pertimbangan yang lain.Setelah dikaji, diteliti dan di hubungankan pada pertimbangan jumlah wanita dan laki-laki, mereka melihat bahwa keadilan yang dituntut oleh al-qur’an sebagai syarat poligami tidak akan mungkin terpenuhi sebagaimana telah diperingatkan Allah dalam surat an-nisa’(2): 129; dan ternyata poligami itu lebih banyak mendatangkan kemudharatan dari pada manfaat. Berdasarkan semua pertimbangan itu, maka mereka sampai pada hasil penemuan dan menetapkan bahwa”poligami dalam kondisi dan situasi saat ini adalah tidak boleh”

            Pendapat yang terakhir tidak menyalahi apa-apa yang dikehendaki oleh ayat-ayat al-qur’an tentang poligami, walaupun mungkin dikatakan berbenturan dengan pendapat terdahulu yang pernah ada dan diikuti secara meluas.

E. IJMA’ SEBAGAI DALIL HUKUM FIQH

1. Arti  Ijma’

            Adapun pengertian ijma’ dalam istilah teknis hokum atau istilah syar’i terdapat perbedaan rumusan. Perbedaan itu terletak pada segi siapa yang melakukan kesepakatan itu. Perbedaan rumusan oitu dapat dilihat dalam beberapa rumusan atau difinisi ijma’ sebagai berikut:

  1. Al-Ghazali meruskan ijma’ dengan kesepakatan umat                     Muhammad secara khusus atas suatu urusan agaman.

            Meskipun dalam istilah ini dikhususkan kepada umat nabi Muhammad, namun mencakup jumlah yang luas yaitu : seluruh umat nabi Muhammad atau umat islam. Pandangan imam al-Ghazali ini mengikuti  pandangan imam Syafi’I yang menetapkan ijma itu sebagai kesepakatan umat. Hal ini tampaknya didasarkan pada keyakinan bahwa yang terhindar dari kesalahan hanyalah umat secara keseluruhan, bukan perorangan. Namun pendapat imum syafi’I ini mengalami perubahan dan perkembangan di tangan pengikutnya di demikian hari.

F. Qiyas sebagai Metode penggalian hokum syaria’

            Qiyas merupakan suatu cara penggunaan ra’yu untuk menggali hokum sya’ra dalam hal-hal yang nash al-qur’an dan sunnah tidak menetapkan hokumnya secara jelas.

            Pada dasarnya ada dua macam cara penggunaan ra’yu, yaitu : penggunaan ra’yu yang masih merunjuk kepada nash dan penggunaan ra’yu secara bebas tanpa mengaitkannya kepada nash. Bentuk pertama secara sederhana qiyas. Meskipun qiyas tidak menggunakan nashsecara langsung, tetapi karena merujuk kepada nash,namun tidak secara langsung.

            Hal-hal yang atau kasus yang di tetapkan Allah hukumnya sering mempunyai kesamaan dengan kasus lain yang tidak di  tetapkan hukunya. Meskipun kasus lain itu tidak di jelaskan hukumnya oleh Allah , namun karena ada kesamaan dalam hal sifatnya dengan kasus yang ditetapkan hukumnya, maka hokum yang sudah di tetapkan itu dapat di berlakukan kepada kasus lain tersebut.

BAB III

P E N U T U P

A. kesimpulan

            Al-Qur’an adalah sumber hukum islam yang utama yang dapat menjadi panutan dan tuntunan bagi umat islam, tetapi selain Al-Qur’an islam juga mempunyai sumber-sumber hukum yang lain seperti sunnah yang secara etimologis berarti cara yang biasa dilakukan, apakah cara itu sesuatu yang baik atau buruk. Selain Al-Qur’an dan sunnah islam juga mempunyai sumber hokum islam yang lain yaitu ra’yu yang berarti melihat, juga ijma’ yang artinya ketetapan hati untuk melakukan sesuatu atau keputusan berbuat sesuatu, dan Qiyas yang merupakan suatu cara penggunaan ra’yu untuk menggali hokum syara’ dalam hal-hal yang nash.

B. Saran – Saran

  • di harapkan kepada kawan-kawan untuk memberikan masukan dan kritikan yang dapat membangun.
  • Di harapkan tidak saling menjatuhkan ketika memberi kritikan atau masukan.
  • bagi yang kurang jelas bisa langsung betanya.

DAFTAR PUSTAKA

Pendidikan agama islam sma.2006.Erlangga Jakarta.Syamsuri

Bidayatul mujtahid.Ibnu  Rusyid.pustaka amani.Jakarta 1995

Ushul Fiqh.Syarifudin Amir.Kencana.jakarta 1982

IbrahimBeyk, Ahmad, ‘Ilm Ushulal-fiqh, kencana 1990

Al-qur’anul karim

By SARUL MARDIANTO

Tinggalkan komentar